Selasa, 27 Maret 2012

Bullying

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 06 Oktober 2008

Pengertian Bullying
Konon, istilah bullying ini terkait dengan bull, sapi jantan yang suka mendengus (untuk mengancam, menakuti-nakuti, atau memberi tanda). Kamus Marriem Webster menjelaskan bahwa bully itu adalah to treat abusively (memperlakukan secara tidak  sopan) atau to affect by means of force or coercion (mempengaruhi dengan paksaan dan kekuatan).

Dalam dunia anak-anak, Dan Olweus, seorang pakar yang berkonsentrasi menangani praktek bullying, menyimpulkan, bullying pada anak-anak itu mencakup penjelasan antara lain: a) upaya melancarkan permusuhan atau penyerangan terhadap korban, b) korban adalah pihak yang dianggap lemah atau tak berdaya oleh pelaku, dan c) menimbulkan efek buruk bagi fisik atau jiwanya (Preventing Bullying, Kidscape, UK, 2001).

Bu Ria (36), sebut saja begitu, akhirnya lebih memilih memindahkan anaknya ke sekolah lain. Ini dilakukan karena kasihan selalu mendengar keluhan si putri yang kerap dijadikan objek pemalakan oleh sekelompok anak di sekolah. Misalnya, makanan yang dibawanya dari rumah suka diambil, peralatan sekolah suka diganti sama yang jelek, atau bahkan uang jajannya pun tak luput dari praktek pemerasan. Menurut si putri, dirinya diam saja sebab ada anak lain yang menolak kemauan si perkasa diancam dengan kata-kata yang menakutkan. Misalnya, tidak ditemani, selalu dicemooh sebagai orang pelit, dan semisalnya.

Apa yang dialami Bu Ria itu sebetulnya hanyalah gambaran kecil dari praktek bullying yang sangat variatif. Menurut pengamatan Dan Olweus, dkk, bullying di kalangan anak-anak itu memiliki bentuk yang beragam, antara lain:
  • Penyerangan fisik: memukul, menendang, mendorong, dan seterusnya
  • Penyerangan verbal: mengejek, menyebarkan isu buruk, atau menjuluki sebutan yang jelek
  • Penyerangan emosi: menyembunyikan peralatan sekolah, memberikan ancaman, menghina
  • Penyerangan rasial: mengucilkan anak karena ras, agama, kelompok, dst
  • Penyerangan seksual: meraba, mencium, dan seterusnya

Dalam dunia anak-anak, bullying biasanya terjadi karena adanya kerjasama yang bagus dari ketiga pihak, yang oleh Barbara Coloroso ((The Bully, The Bullied, dan The Bystander: 2004), disebutnya dengan istilah tiga mata rantai penindasan. Pertama, bullying terjadi karena ada pihak yang  menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung, entah karena takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada pihak yang dianggap lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah (takut bilang sama guru atau orangtua, takut melawan, atau malah memberi permakluman).  

Atas kerjasama ketiga pihak itu biasanya praktek bullying sangat sukses dilakukan oleh anak yang merasa punya punya power atau kekuatan. Jika kebetulan anak kita masuk di sekolah yang pengawasan gurunya lebih dari cukup, mungkin akan cepat terdeteksi. Tapi bila tidak, maka kitalah yang sangat diharapkan proaktif.  


Siapa Korban Dan Siapa Pelaku?
Pak Wardiman setengah menyesali keputusannya "menyogok" pihak sekolah agar menerima si anak yang usianya kala itu belum cukup enam tahun. Dipikirnya, dengan masuk SD lebih dini itu bagus. Dia khawatir anaknya nanti menjadi orang bodoh karena kerjaannya main terus di rumah. Seiring dengan berjalannya waktu, terasa ada yang ganjil dari perkembangan si anak. Di sekolah yang pengawasan gurunya sangat terbatas, si anak kerap dijadikan korban yang harus mengalah oleh teman yang badanya lebih gede dan usianya lebih tua.

Apa yang dialami Pak Wardiman itu sebetulnya hanya sebuah kasus. Maksudnya, tidak semua anak yang usianya lebih muda itu akan pasti menjadi korban bullying. Faktor usia bisa menjadi sebab langsung dan bisa pula menjadi sebab tidak langsung atau bisa saja tidak terkait sama sekali. Usia tidak selalu menjadi sebab. Mungkin lingkungan sekolah, mungkin pengaruh pola asuh, atau mungkin karena yang lain.  

Dari penjelasan sejumlah pakar tentang korban bullying, umumnya para korban itu memiliki ciri-ciri  "ter", misalnya: terkecil, terbodoh, terpintar, tercantik, terkaya, dan seterusnya.  Di bukunya Barbara Colorosa (The bully, The bullied, dan The bystander: 2004), ciri-ciri yang terkait dengan korban itu antara lain:
  • Anak baru di lingkungan itu.
  • Anak termuda atau paling kecil di sekolah.
  • Anak yang pernah mengalami trauma sehingga sering menghindar karena rasa takut
  • Anak penurut karena cemas, kurang percaya diri, atau anak yang melakukan sesuatu karena takut dibenci atau ingin menyenangkan 
  • Anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain.
  • Anak yang tidak mau berkelahi atau suka mengalah
  • Anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatian orang lain
  • Anak yang paling miskin atau paling kaya.
  • Anak yang ras atau etnisnya dipandang rendah 
  • Anak yang orientasi gender atau seksualnya dipandang rendah 
  • Anak yang agamanya dipandang rendah
  • Anak yang cerdas, berbakat, memiliki kelebihan atau beda dari yang lain 
  • Anak yang merdeka atau liberal, tidak memedulikan status sosial, dan tidak berkompromi dengan norma-norma.
  • Anak yang siap mendemontrasikan emosinya setiap waktu.
  • Anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung.
  • Anak yang memakai kawat gigi atau kacamata.
  • Anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya.
  • Anak yang memiliki kecacatan fisik atau keterbelakangan mental
  • Anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah (bernasib buruk)

Sedangkan untuk para pelaku, mereka umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Suka mendominasi anak lain.
  • Suka memanfaatkan anak lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
  • Sulit melihat situasi dari titik pandang anak lain.
  • Hanya peduli pada keinginan dan kesenangannya sendiri, dan tak mau peduli dengan  perasaan anak lain.
  • Cenderung melukai anak lain ketika orangtua atau orang dewasa lainnya tidak ada di sekitar mereka.
  • Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai sasaran.
  • Tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya.
  • Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan atau masa bodoh terhadap akibat dari perbuatannya.
  • Haus perhatian


Bagaimana Membantu Korban?
Kita semua diajari untuk menolong dua pihak, baik yang tertindas atau yang menindas. Menolong yang tertindas bisa dilakukan dengan membebaskan mereka dari ketertindasan. Ini penting sebab jika si korban tidak segera ditolong, akibat yang paling fatal bisa meninggal dunia. 

Seorang wali murid di salah satu SD di Jakarta Timur akhirnya hanya bisa berbagai pengalaman agar peristiwa buruk yang pernah menimpanya tak lagi terjadi. Anak lelakinya meninggal dunia. Menurut diagnosa dokter, di dada si anak ada memar bekas pukulan benda keras. Mungkin saja benda keras itu tidak langsung mengakibatkan hilangnya nyawa. Karena si anak takut bilang dan kurang ada perhatian dini, akhirnya terjadilan kejadian yang tidak diharapkan itu.

Jangankan anak-anak yang masih di SD, anak remaja saja belum tentu bisa berterus terang kepada orangtuanya soal ini. Kalau merujuk pada kasus-kasus di sekolah tinggi kedinasan milik pemerintah, para korban penindasan di sana bukan lagi anak-anak, melainkan mahasiswa. Mereka bungkam dengan berbagai alasan.

Dari kajian para ahli, jika korban bullying itu dibiarkan atau tidak mendapatkan penanganan, mereka akan depresi, mengalami penurunan harga diri, menjadi pemalu, penakut, prestasinya jeblok, mengisolasi diri, atau ada yang mau mencoba bunuh diri karena tidak tahan (Stop Bullying, Kidscape: 2005). Lantas, bagaimana membantu si korban? Untuk membantu si korban, Coloroso menyarankan:
  • Yakinkan  bahwa kita akan berada di sisinya dalam mengatasi masalah ini.
  • Ajari si anak untuk menjadi orang baik namun juga tidak takut melawan kesombongan.  
  • Galilah inisiatif dari si anak tentang cara-cara yang bisa ditempuh. Ini untuk menumbuhkan kepercayaan diri si anak atau ajukan beberapa usulan.
  • Rancanglah pertemuan dengan pihak sekolah.
  • Jangan lupa membawa penjelasan yang faktual dan detail. Misalnya bukti fisik, harinya, prosesnya, nama anak-anaknya, tempat kejadiannya, dan lain-lain. Kalau bisa, cari juga dukungan dari wali murid lain yang anaknya kerap menjadi korban.
  • Usahakan dalam pertemuan itu muncul kesepakatan yang pasti akan dijalankan dan akan membuat anak aman dari penindasan. Maksudnya, jangan hanya puas mengadu dan puas diberi janji.
  • Akan lebih sempurna jika pihak sekolah mau memfasilitasi pertemuan dengan wali yang anaknya pelaku dan yang anaknya menjadi korban untuk ditemukan solusinya

Yang perlu kita hindari adalah praktek menyalahkan atau menyudutkan si anak. Misalnya mengatakan, kamu sih yang mancing, kamu sih yang nggak mau mengerti, dan seterusnya. Kesalahan ada pada pelaku, bukan pada korban. Hindari juga membuat rasionalisasi yang meremehkan, misalnya kita mengatakan, wah digituin aja sedih, jangan cengeng dong, dia kan hanya bercanda, dan seterusnya. Terus, jangan juga langsung meledak dan ngamuk. Ini malah membuat anak enggan bercerita. Galilah dari si anak sebanyak mungkin.


Bagaimana Membantu Pelaku?
Bagaimana cara membantu pelaku? Membantu pelaku adalah dengan mencegahnya. Pencegahan ini bisa diajarkan dengan cara-cara di bawah ini:
  • Beri disiplin. Jelaskan bahwa menindas itu perbuatan salah, ajari untuk bertanggungjawab atas kesalahannya, misalnya minta maaf, mengontrol proses agar tidak mengulangi lagi, dan meyakinkan dirinya bahwa dia bukan orang jahat. Dia hanya butuh belajar untuk menjadi orang yang lebih baik.
  • Ciptakan kesempatan untuk berbuat baik kepada keluarga atau teman-temannya di sekolah, misalnya mengundang hari ulang tahun, berbagi, dan seterusnya
  • Tumbuhkan empati, misalnya menjenguk atau menelpon yang sakit, membantu yang membutuhkan, mengutarakan kata-kata yang baik
  • Ajari keterampilan berteman dengan cara-cara yang asertif, sopan, dan tenang. Tunjukkan bahwa memaksa orang lain itu tidak baik.
  • Pantaulah acara televisi yang ditonton mereka, video game yang dimainkan, aktivitas-aktivitas komputer yang mereka lakukan, dan musik yang mereka dengarkan atau mainkan. Jika berbau kekerasan, ajarilah untuk mengganti secara bertahap
  • Libatkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih konstruktif, menghibur, dan menggairahkan.
  • Ajari anak Anda untuk beritikad baik kepada anak lain.
  • Hindari kekerasan dalam bentuk apapun ketika memperlakukan mereka. Kekerasan seringkali melahirkan kekerasan


Kesimpulan
Praktek bullying, entah itu pelaku atau korbannya bisa menimpa siapa saja. Anak-anak tentu belum sepenuhnya menyadari kefatalan yang ditimbulkannya. Karena itu, peranan orangtua dalam mencegah dan menolong sangat diharapkan. Dengan keterlibatan orangtua yang notebene lebih matang, mudah-mudahan bisa memutus mata rantai kekerasan di antara mereka. Semoga bermanfaat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar