Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 06 Oktober 2008
Pengertian Bullying
Konon, istilah bullying
ini terkait dengan bull, sapi jantan yang suka mendengus (untuk
mengancam, menakuti-nakuti, atau memberi tanda). Kamus Marriem Webster
menjelaskan bahwa bully itu adalah to treat abusively (memperlakukan
secara tidak sopan) atau to affect by
means of force or coercion (mempengaruhi dengan paksaan dan kekuatan).
Dalam dunia
anak-anak, Dan Olweus, seorang pakar yang berkonsentrasi menangani praktek bullying,
menyimpulkan, bullying pada anak-anak itu mencakup penjelasan antara
lain: a) upaya melancarkan permusuhan atau penyerangan terhadap korban, b)
korban adalah pihak yang dianggap lemah atau tak berdaya oleh pelaku, dan c)
menimbulkan efek buruk bagi fisik atau jiwanya (Preventing Bullying,
Kidscape, UK, 2001).
Bu Ria (36),
sebut saja begitu, akhirnya lebih memilih memindahkan anaknya ke sekolah lain.
Ini dilakukan karena kasihan selalu mendengar keluhan si putri yang kerap
dijadikan objek pemalakan oleh sekelompok anak di sekolah. Misalnya, makanan
yang dibawanya dari rumah suka diambil, peralatan sekolah suka diganti sama
yang jelek, atau bahkan uang jajannya pun tak luput dari praktek pemerasan.
Menurut si putri, dirinya diam saja sebab ada anak lain yang menolak kemauan si
perkasa diancam dengan kata-kata yang menakutkan. Misalnya, tidak ditemani,
selalu dicemooh sebagai orang pelit, dan semisalnya.
Apa yang dialami
Bu Ria itu sebetulnya hanyalah gambaran kecil dari praktek bullying yang
sangat variatif. Menurut pengamatan Dan Olweus, dkk, bullying di
kalangan anak-anak itu memiliki bentuk yang beragam, antara lain:
- Penyerangan fisik: memukul, menendang, mendorong,
dan seterusnya
- Penyerangan verbal: mengejek, menyebarkan isu buruk,
atau menjuluki sebutan yang jelek
- Penyerangan emosi: menyembunyikan peralatan sekolah,
memberikan ancaman, menghina
- Penyerangan rasial: mengucilkan anak karena ras,
agama, kelompok, dst
- Penyerangan seksual: meraba, mencium, dan seterusnya
Dalam dunia
anak-anak, bullying
biasanya terjadi karena adanya kerjasama yang bagus
dari ketiga pihak, yang oleh Barbara Coloroso ((The Bully, The Bullied,
dan The Bystander: 2004), disebutnya dengan istilah tiga mata rantai
penindasan.
Pertama, bullying terjadi karena ada pihak yang
menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung, entah karena
takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada pihak yang dianggap lemah
dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah (takut bilang sama guru atau
orangtua, takut melawan, atau malah memberi permakluman).
Atas kerjasama
ketiga pihak itu biasanya praktek bullying sangat sukses dilakukan oleh
anak yang merasa punya punya power atau kekuatan. Jika kebetulan anak kita
masuk di sekolah yang pengawasan gurunya lebih dari cukup, mungkin akan cepat
terdeteksi. Tapi bila tidak, maka kitalah yang sangat diharapkan proaktif.
Siapa Korban Dan Siapa Pelaku?
Pak Wardiman
setengah menyesali keputusannya "menyogok" pihak sekolah agar menerima si anak
yang usianya kala itu belum cukup enam tahun. Dipikirnya, dengan masuk SD lebih
dini itu bagus. Dia khawatir anaknya nanti menjadi orang bodoh karena
kerjaannya main terus di rumah. Seiring dengan berjalannya waktu, terasa ada
yang ganjil dari perkembangan si anak. Di sekolah yang pengawasan gurunya
sangat terbatas, si anak kerap dijadikan korban yang harus mengalah oleh teman
yang badanya lebih gede dan usianya lebih tua.
Apa yang dialami
Pak Wardiman itu sebetulnya hanya sebuah kasus. Maksudnya, tidak semua anak
yang usianya lebih muda itu akan pasti menjadi korban bullying. Faktor
usia bisa menjadi sebab langsung dan bisa pula menjadi sebab tidak langsung
atau bisa saja tidak terkait sama sekali. Usia tidak selalu menjadi sebab.
Mungkin lingkungan sekolah, mungkin pengaruh pola asuh, atau mungkin karena
yang lain.
Dari penjelasan
sejumlah pakar tentang korban bullying, umumnya para korban itu memiliki
ciri-ciri "ter", misalnya: terkecil, terbodoh, terpintar, tercantik, terkaya,
dan seterusnya. Di bukunya Barbara
Colorosa (The bully, The bullied, dan The bystander: 2004), ciri-ciri yang
terkait dengan korban itu antara lain:
- Anak baru di lingkungan itu.
- Anak termuda atau paling kecil di sekolah.
- Anak yang pernah mengalami trauma sehingga sering
menghindar karena rasa takut
- Anak penurut karena cemas, kurang percaya diri, atau
anak yang melakukan sesuatu karena takut dibenci atau ingin
menyenangkan
- Anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang
lain.
- Anak yang tidak mau berkelahi atau suka mengalah
- Anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam
atau tidak mau menarik perhatian orang lain
- Anak yang paling miskin atau paling kaya.
- Anak yang ras atau etnisnya dipandang rendah
- Anak yang orientasi gender atau seksualnya dipandang
rendah
- Anak yang agamanya dipandang rendah
- Anak yang cerdas, berbakat, memiliki kelebihan atau
beda dari yang lain
- Anak yang merdeka atau liberal, tidak memedulikan
status sosial, dan tidak berkompromi dengan norma-norma.
- Anak yang siap mendemontrasikan emosinya setiap
waktu.
- Anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung.
- Anak yang memakai kawat gigi atau kacamata.
- Anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi
kulit lainnya.
- Anak yang memiliki kecacatan fisik atau
keterbelakangan mental
- Anak yang berada di tempat yang keliru pada saat
yang salah (bernasib buruk)
Sedangkan untuk
para pelaku, mereka umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Suka mendominasi anak lain.
- Suka memanfaatkan anak lain untuk mendapatkan apa
yang diinginkan.
- Sulit melihat situasi dari titik pandang anak lain.
- Hanya peduli pada keinginan dan kesenangannya
sendiri, dan tak mau peduli dengan
perasaan anak lain.
- Cenderung melukai anak lain ketika orangtua atau
orang dewasa lainnya tidak ada di sekitar mereka.
- Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang
lebih lemah sebagai sasaran.
- Tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya.
- Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan atau
masa bodoh terhadap akibat dari perbuatannya.
- Haus perhatian
Bagaimana Membantu Korban?
Kita semua
diajari untuk menolong dua pihak, baik yang tertindas atau yang menindas.
Menolong yang tertindas bisa dilakukan dengan membebaskan mereka dari
ketertindasan. Ini penting sebab jika si korban tidak segera ditolong, akibat
yang paling fatal bisa meninggal dunia.
Seorang wali
murid di salah satu SD di Jakarta Timur akhirnya hanya bisa berbagai pengalaman
agar peristiwa buruk yang pernah menimpanya tak lagi terjadi. Anak lelakinya
meninggal dunia. Menurut diagnosa dokter, di dada si anak ada memar bekas
pukulan benda keras. Mungkin saja benda keras itu tidak langsung mengakibatkan
hilangnya nyawa. Karena si anak takut bilang dan kurang ada perhatian dini,
akhirnya terjadilan kejadian yang tidak diharapkan itu.
Jangankan
anak-anak yang masih di SD, anak remaja saja belum tentu bisa berterus terang kepada
orangtuanya soal ini. Kalau merujuk pada kasus-kasus di sekolah tinggi
kedinasan milik pemerintah, para korban penindasan di sana bukan lagi
anak-anak, melainkan mahasiswa. Mereka bungkam dengan berbagai alasan.
Dari kajian para
ahli, jika korban bullying itu dibiarkan atau tidak mendapatkan
penanganan, mereka akan depresi, mengalami penurunan harga diri, menjadi
pemalu, penakut, prestasinya jeblok, mengisolasi diri, atau ada yang mau
mencoba bunuh diri karena tidak tahan (Stop Bullying, Kidscape: 2005). Lantas, bagaimana membantu si korban? Untuk membantu si korban, Coloroso
menyarankan:
- Yakinkan bahwa
kita akan berada di sisinya dalam mengatasi masalah ini.
- Ajari si anak untuk menjadi orang baik namun juga
tidak takut melawan kesombongan.
- Galilah inisiatif dari si anak tentang cara-cara
yang bisa ditempuh. Ini untuk menumbuhkan kepercayaan diri si anak atau ajukan
beberapa usulan.
- Rancanglah pertemuan dengan pihak sekolah.
- Jangan lupa membawa penjelasan yang faktual dan
detail. Misalnya bukti fisik, harinya, prosesnya, nama anak-anaknya,
tempat kejadiannya, dan lain-lain. Kalau bisa, cari juga dukungan dari
wali murid lain yang anaknya kerap menjadi korban.
- Usahakan dalam pertemuan itu muncul kesepakatan yang
pasti akan dijalankan dan akan membuat anak aman dari penindasan.
Maksudnya, jangan hanya puas mengadu dan puas diberi janji.
- Akan lebih sempurna jika pihak sekolah mau memfasilitasi
pertemuan dengan wali yang anaknya pelaku dan yang anaknya menjadi korban
untuk ditemukan solusinya
Yang perlu kita
hindari adalah praktek menyalahkan atau menyudutkan si anak. Misalnya
mengatakan, kamu sih yang mancing, kamu sih yang nggak mau mengerti, dan
seterusnya. Kesalahan ada pada pelaku, bukan pada korban. Hindari juga membuat
rasionalisasi yang meremehkan, misalnya kita mengatakan, wah digituin aja
sedih, jangan cengeng dong, dia kan hanya bercanda, dan seterusnya. Terus,
jangan juga langsung meledak dan ngamuk. Ini malah membuat anak enggan
bercerita. Galilah dari si anak sebanyak mungkin.
Bagaimana Membantu Pelaku?
Bagaimana cara
membantu pelaku? Membantu pelaku adalah dengan mencegahnya. Pencegahan ini bisa diajarkan dengan cara-cara di bawah ini:
- Beri disiplin. Jelaskan bahwa menindas itu perbuatan
salah, ajari untuk bertanggungjawab atas kesalahannya, misalnya minta
maaf, mengontrol proses agar tidak mengulangi lagi, dan meyakinkan dirinya
bahwa dia bukan orang jahat. Dia hanya butuh belajar untuk menjadi orang
yang lebih baik.
- Ciptakan kesempatan untuk berbuat baik kepada
keluarga atau teman-temannya di sekolah, misalnya mengundang hari ulang
tahun, berbagi, dan seterusnya
- Tumbuhkan empati, misalnya menjenguk atau menelpon
yang sakit, membantu yang membutuhkan, mengutarakan kata-kata yang baik
- Ajari keterampilan berteman dengan cara-cara yang
asertif, sopan, dan tenang. Tunjukkan bahwa memaksa orang lain itu tidak
baik.
- Pantaulah acara televisi yang ditonton mereka, video
game yang dimainkan, aktivitas-aktivitas komputer yang mereka lakukan, dan
musik yang mereka dengarkan atau mainkan. Jika berbau kekerasan, ajarilah
untuk mengganti secara bertahap
- Libatkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih
konstruktif, menghibur, dan menggairahkan.
- Ajari anak Anda untuk beritikad baik kepada anak
lain.
- Hindari kekerasan dalam bentuk apapun ketika
memperlakukan mereka. Kekerasan seringkali melahirkan kekerasan
Kesimpulan
Praktek bullying,
entah itu pelaku atau korbannya bisa menimpa siapa saja. Anak-anak tentu belum
sepenuhnya menyadari kefatalan yang ditimbulkannya. Karena itu, peranan
orangtua dalam mencegah dan menolong sangat diharapkan. Dengan keterlibatan
orangtua yang notebene lebih matang, mudah-mudahan bisa memutus mata rantai
kekerasan di antara mereka. Semoga bermanfaat.
Credit : http://www.e-psikologi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar